Rabu, 17 April 2013

Jepang Gelontorkan Rp 500 Triliun Tuk Infrastruktur

Jepang yang pernah menjajah Negara kita berjanji akan menggelontorkan sebesar USD 52,9 miliar atau sekitar Rp 500 triliun untuk membangun infrastruktur

Banjir duit yang mengalir ke Indonesia sekitar US$ 12 miliar selama tahun 2010 telah memusingkan Gubernur BI karena banjir itu membuat Rupiah jadi menguat (apresiasi), sedangkan apresiasi rupiah musibah bagi ekspotir sebab Produknya menjadi lebih mahal.

Aliran duit dari luar (Modal Asing) sebenarnya patut disyukuri karena mereka percaya dengan kondisi ekonomi Indonesia yang telah masuk dalam “Investment Grade” (Negara dengan risiko Investasi rendah) sehingga duitnya akan beranak dan kembali dengan aman, masalahnya karena jumlahnya sudah terlalu banyak dan hanya bersifat sementara yaitu ditanamkan dalam pasar uang seperti Sertifikat Bank Indonesia (SBI), mereka bisa kabur sesukanya. Istilah kerennya adalah Hot Money (Uang Panas), sama dengan sifat api, kecil bermanfaat dan bila tak bisa dikelola bisa hangus terbakar.

Apresiasi Rupiah sebenarnya bukan prestasi yang membanggakan karena penyebab utamanya adalah US$ yang melemah sejalan kondisi ekonomi Amerika yang lagi tak menentu. Kalau dibandingkan dengan apresiasi mata uang di kawasan regional, apresiasi rupiah hanya sekitar 5,01%, lebih kecil dari Thailand sebesar 7% dan ringgit Malaysia sebesar 8%. Jadi kekhawatiran apresiasi rupiah mengancam produk eksport kurang beralasan. Gitu aja kok repot…….

Untuk menjaga rupiah tetap stabil, BI termasuk satu dari enam bank sentral di Asia yang agresif melakukan intervensi menjaga Rupiah dan mengakibatkan biaya operasional BI meningkat sebesar Rp 26 triliun. Hal itu dilakukan karena sebagian besar Negara dengan sengaja melemahkan mata uangnya (perang kurs). Perang kurs ini tak lain tujuannya adalah agar produknya menjadi lebih murah guna mendongkerak ekspor.

Biaya operasional BI yang meningkat sebesar Rp 26 triliun disebabkan BI harus membayar bunga SBI sebesar 6,50% pertahun sedangkan uang dari SBI dibelikan Valuta Asing untuk membuat keseimbangan supply dan demand menjaga rupiah tidak terbang tinggi. Duit BI dalam Valuta Asing itu hasilnya sangat tidak memadai karena hanya dapat imbalan kurang dari 1% setahunnya.


Untuk menjaga stabilitas perekonomian secara Global, Negara-negara yang tergabung dalam G-20, dimana Indonesia salah satu anggota dari kawasan Asia Tenggara, telah sepakat akan mengakhiri “Perang Kurs”, namun timbul lagi masalah baru yaitu ramai-ramai menurunkan suku bunga. Ada-ada aja, pencet disini, gelembung disana ha ha ha.

Kalau kita amati kondisi diatas, ini berawal dari aliran Modal Asing yang masuk dalam pasar keuangan, idealnya Modal Asing tersebut mengalir ke sector riil sehingga akan tercipta kesimbangan antara jumlah barang dengan jumlah uang yang beredar. Kok nggak gitu ?. Salah satunya karena sector riil tidak didukung oleh Infrastruktur yang memadai (ekonomi biaya tinggi).


Masalah minimnya Infrastruktur ini mudah-mudahan bisa diatasi. Hasil pertemuan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang menginformasikan bahwa Jepang yang pernah menjajah Negara kita berjanji akan menggelontorkan sebesar USD 52,9 miliar atau sekitar Rp 500 triliun untuk membangun infrastruktur berupaPelabuhan, Jalan, Jalur KA, Kelistrikan sepanjang Pesisir Timur Sumatra (East Sumatra-ES) hingga Barat Laut Jawa (North West Java-NWJ) yaitu Medan, Pekanbaru, Jambi, Palembang, Lampung, Serang, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar