Minggu, 14 April 2013

“Ewuh Pakewuh” Penyebab Dominan Kecelakaan Pesawat

Tahun 1997 kecelakaan Boeing 747 menghantam Nimitz Hill-pegunungan yang rimbun tiga mil sebelah barat daya bandara Guam. Satu tahun setelah kecelakaan Guam, pesawat jet keluar landasan di Bandara Ulsan, Maret 1998 McDonnel Douglas 83 menabrak tanggul di Bandara Pohang dan April pesawat penumpang jatuh di daerah pemukiman di Shanghai. Untuk bisa menilai lebih akurat, tingkat “kehilangan” masakapai penerbangan Amerika Serikat yaitu United Airlines di priode 1988 sampai 1998 adalah 0,27 per juta penerbangan, yang berarti mereka hanya kehilangan satu pesawat akibat kecekalaan dalam setiap empat juta penerbangan, sedangkan tingkat kehilangan Korean Air pada periode yang sama, adalah 4,79 per juta penerbangan- sekitar tujuh belas kali lebih tinggi. Karena sering kecelakaan, Delta Air Lines dan Air France menunda kerjasama dengan Korean Air. Angkatan Bersenjata AS yang menempatkan ribuan pasukannya di Korsel melarang anggotanya naik Korean Air. Kecelakaan terjadi bukan karena masalah pengetahuan atau keahlian menerbangkan pesawat, tapi karena kekeliruan kerjasama team dan komunikasi, ujar Suren Ratwatte seorang pilot veteran warga Sri Lanka yang bertahun-tahun terlibat dalam penelitian “faktor manusia” Kecelakaan pesawat milik Kolombia “Aviance thn 1990 dari Medellin Kolombia menuju Bandara Kennedy, New York disebabkan co Pilot membuat “kalimat penghalusan” sehingga diartikan lain oleh petugas Air Traffic Control. Kekeliruan kerjasama team pada Korean Air sesuai hasil penelitian psikolog Belanda bernama Geert Hofstede dalam buku klasiknya “Curture’s Consequences “terkait dengan Power Distance Index (PDI) Korea Selatan No 2 teratas setelah Brazil. Power Distance dapat diukur dengan mudah dari Bahasa. Bahasa Korea memiliki enam tingkatan yang berbeda yaitu : formal, informal, terbuka, akrab, intim dan datar. Co Pilot tidak berani menggunakan bentuk intim atau akrab dengan Kapten. Memerangi penghalusan adalah perjuangan terberat maskapai penerbangan komersial dalam 15 tahun terakhir. Setiap Maskapai memiliki pelatihan “Manajemen Sumber Daya Awak Kapal” yang mengajarkan awak kapal junior untuk berkomunikasi dengan jelas dan arsetif, mendebat sang pilot bila dia pikir ada sesuatu yang salah. Cara sederhana memerangi penghalusan adalah menyapa dengan nama depan masing-masing. Komunikasi yang baik bukan artian memberi perintah tetapi dalam artian memberi dorongan, membujuk, menenangkan, bernegosiasi dan membagi informasi dalam cara paling jelas dan transparan. Pada saat kecelakaan di Shanghai Presiden Korea Kim Dae Jung memberikan pendapatnya yaitu : “Masalah Korean Air bukanlah masalah perusahaan individu, tetapi masalah seluruh bangsa”. ujarnya. “Kredibilitas Negara kita yang dipertaruhkan”. Luarrrrr biasa. Korean Air telah merubah dirinya dengan drastis. Di 2006 Korean Air mendapat Poenix Award dari Air Transport World sebagai pengakuan atas transformasinya. Para ahli penerbangan akan mengatakan bahwa Korean Air kini sama amannya dengan maskapai penerbangan yang lainnya di dunia. Sumber : Buku “Outliers” RAHASIA DI BALIK SUKSES by MALCOLM GLADWELL Ewu Pakewu dan sikap Presiden Korsel. Kekeliruan komunikasi dengan membuat bahasa penghalusan atau tidak berterus terang, sungkan, sangat menghormati sehingga tidak berani mengusulkan sesuatu yang baik kepada atasan, di Negara kita dikenal dengan Budaya Ewu Pakewu. Siapa sich yang tidak kenal dengan budaya ini. Belajar dari sikap Presiden Korea Kim Dae Jung yaitu : “Masalah Korean Air bukanlah masalah perusahaan individu, tetapi masalah seluruh bangsa”, dan “Kredibilitas Negara kita yang dipertaruhkan”. Bisakah budaya Ewu Pakewu dan sikap Presiden Kim Dae Jung ini kita contoh ? Penulis teringat salah satu tulisan (Rhenal Kasali) di beberapa media dengan Judul “Membongkar Otak Birokrasi” yang pada intinya merubah sikap bawahan yaitu PGPS (pintar–goblok penghasilan sama) atau RMS (rajin malas sama) dengan cara berani mengusulkan sesuatu yang lebih baik dan ditunjang oleh sikap atasan yang berani mengambil kebijakan yang benar-benar untuk kemasalahatan karena tidak mungkin menunggu sampai semua peraturan perundang-undangan lengkap dan tersedia. Tidak ada lagi cerita di zaman Orde Baru saat seseorang tenggelam di laut dihadapan Jenderal Angkatan Laut dan Presiden Soeharto. Jenderal ! Kok tidak ditolong ?. Belum ada petunjuk dari Presiden.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar